Perbedaan Pasar Tradisional Dan Pasar Modern
Pasar adalah area tempat jual beli dengan jumlah penjual lebih dari satu baik yang disebut sebagai pusat perbelanjaan, pasar tradisional, pertokoan, mall, plasa, pusat perdagangan maupun sebutan lainnya. Pasar Tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Swasta, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah termasuk kerjasama dengan swasta dengan tempat usaha berupa toko, kios, dan tenda yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat atau koperasi dengan usaha skala kecil, modal kecil, dan dengan proses jual beli barang dagangan melalui tawar menawar. Pusat Perbelanjaan adalah suatu area tertantu yang terdiri dari satu atau beberapa bangunan yang didirikan secara vertical maupun horizontal, yang dijual atau disewakan kepada pelaku usaha atau dikelola sendiri untuk melakukan kegiatan perdagangan barang. Pasar Modern adalah pasar dengan sistem pelayanan mandiri, menjual berbagai jenis barang secara eceran yang berbentuk Minimarket, Supermarket, Departemen Store, Hypermarket ataupun grosir yang berbentuk perkulakan. Banyak para penelitian dan kajian dilakukan secara praktisi, dan secara akademisi. Pemerintah pun terus melakukan pendalaman mengenai sistem perdagangan untuk tata pasar khususnya pasar tradisional dan modern. Para konsumen pun dapat memilih dan membandingkan antara pasar tradisonal Dan pasar modern. Yang dimana pasar tadisional yang tata letaknya cenderung kumuh, kotor, lahan parkir yang tak tertata, dan keamanan pasar yang tidak terjamin. Walaupun dengan kondisi dari pasar tradisional yang tidak bagus dan tidak terlalu nyaman, tetapi dalam harga penawaran dan permintaannya dapat teratasi dengan mudah dan cepat. Kondisi ini pun terbalik dengan pasar modern, dimana pasar modern yang tata letaknya tempat yang bersih, dijaga keamanan yang memadai, tata produk/komoditi yang terklasifikasi, manajemen yang terstruktur dalam pola perlakukan professional dan tata letak parkirnya pun tertata. Dan pokok dari permasalahannya itu pun pertama, bagaimana cara membuat pasar tradisional yang kesehatannya pun memadai (secara hygienis, bersih dan rapih), tingkat keamanannya harus terjamin, tingkat tata letak pengolahan saat berdagang tersusun rapi, tingkat kebersihannya terjamin. Persaingan perdagangan retail yang bermain yang menjual mata dagangan yang sama, yaitu seperti kebutuhan sehari-hari dimana komoditas tersebut sesungguhnya menjadi bagian dari kesulitan pasar tradisional untuk meraih pasar. Walaupun dengan harga yang cukup minim dibilang, para distributorpun harus memikirkan juga kenyamanan para konsumen. Sepaertinya juga para konsumen ingin sekali para pemerintah manata pasar tersebut menjadi apa yang telah kita sebutkan diatas tadi. Sekarang pun para konsumen sudah tidak khawatir lagi, Presiden RI yaitu Susilo Bambang Yudhoyono sudah mentandatangani Peraturan Presiden No. 112/2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Pasar Modern pada 27 Desember 2007.
di 02:48
Diposkan oleh Talita puff_girl
Thursday, June 3, 2010
manfaat dari kebijakan pajak
BBM, Pajak Keuntungan Ekstra Print E-mail
There are no translations available
DIDIK J RACHBINI
Dampak kenaikan harga minyak pada Indonesia dan negara penghasil minyak lainnya amat berbeda. Perbedaan itu bersifat terbalik. Bagi negara penghasil minyak lainnya, kenaikan harga minyak berdampak positif, bahkan menimbulkan efek keuntungan ekstra besar. Sementara bagi Indonesia, kenaikan harga minyak berdampak negatif dan merisaukan masyarakat, khususnya golongan masyarakat bawah.
Bagi Indonesia, amat luas dampak kenaikan harga minyak, terutama pada harga-harga barang lainnya. Golongan masyarakat bawah terkena dampak paling berat, berpotensi menimbulkan kisruh sosial jika tidak diimbangi kebijakan, yang mendinginkan. Kebijakan subsidi langsung sedikit banyak meredam gejolak sosial, kecuali keresahan yang terbatas pada kalangan menengah mahasiswa.
Manfaatkan momentum krisis BBM
Meski berstatus produsen, Indonesia berbeda dengan negara OPEC lainnya. Negeri ini tidak menikmati keuntungan ekstra dari kenaikan harga minyak saat ini. Penyebabnya, tidak lain karena produksinya lebih kecil, tidak mencukupi dibandingkan tingkat konsumsinya. Selain itu, kebijakan energi juga salah kaprah. Dengan demikian, kenaikan harga minyak berdampak negatif terhadap masyarakat.
Meski demikian, peluang untuk mengurangi dampak negatif bisa ditekan. Pertama, kondisi krisis harus dijadikan kesempatan untuk melakukan efisiensi pada level korporasi, seperti Pertamina dan efisiensi energi pada tingkat rumah tangga masyarakat melalui kampanye luas. Krisis minyak selayaknya dijadikan momentum untuk memperbaiki kebijakan energi.
Kedua, usaha pemerintah memberantas perburuan rente ekonomi minyak dari hulu sampai hilir agar lebih efisien. Perburuan rente ekonomi tidak hanya di hulu, tetapi juga di hilir dan di luar, seperti kolusi mesin-mesin pembangkit listrik, yang menyebabkan ketergantungan pada minyak. Akhirnya konsumsi minyak dan peningkatan subsidi diperparah subsidi listrik, yang tidak efisien karena pembangkitan berbasis BBM.
Selain itu, kebijakan pajak keuntungan ekstra dapat diberlakukan kepada perusahaan minyak. Jelas harga produknya meningkat pesat karena faktor eksternal sehingga keuntungan ekstra kian banyak diperoleh. Peningkatan kinerja keuangan seperti ini otomatis akan berdampak pada pembayaran pajaknya.
Pajak ”keuntungan ekstra”
Pajak keuntungan ekstra (windfall profits tax) adalah pajak yang harus dikenakan pada industri atau kumpulan perusahaan akibat kenaikan harga produknya, yang menambah pendapatan dan keuntungan perusahaan. Kenaikan harga produk yang amat tinggi dan berlipat berimplikasi pada keuntungan. Contoh yang sudah dijalankan adalah pajak keuntungan ekstra atas minyak (crude oil winfall profit tax), yang perdebatan legislasinya sudah mulai sejak awal 1980-an di Amerika Serikat.
Semula, pajak keuntungan ekstra bukan dimaksudkan atau terkait langsung keuntungan, tetapi terkait pajak tambahan yang dikenakan pada tiap barrel produksi minyak domestik. Namun, dengan kenaikan harga minyak yang terjadi kini, pajak keuntungan ekstra menjadi pendapatan tambahan bagi negara.
Pajak tambahan dari keuntungan ekstra ini ditarik saat pertama kali produk minyak mentah itu dijual oleh produsen ke pengolah (refinery). Pengolah diwajibkan negara untuk menahan pajak yang dikenakan sebelum dibayarkan kepada produsen minyak mentah. Pajak keuntungan ekstra ini dijalankan pada waktu khusus seperti sekarang, saat harga minyak naik, guna menambah pendapatan negara.
Agar sistem pajak keuntungan ekstra ini kuat, diperlukan legislasi yang disusun bersama antara presiden dan DPR. Prinsipnya fleksibel karena kenaikan harga juga tidak akan berlangsung terus. Negara-negara yang melaksanakan pajak keuntungan ekstra ini memberlakukan hanya dalam waktu 3-4 tahun.
Sudah beberapa tahun terakhir ini negara maju yang memiliki sumber minyak dan perusahaan minyak, seperti di AS dan Rusia, melihat keuntungan ekstra berbagai perusahaan minyak amat besar saat harga minyak meningkat. Pada tahun 2005, keuntungan kolektif berbagai perusahaan minyak itu diperkirakan mencapai sekitar 100 miliar dollar AS.
Masyarakat dan parlemen memerhatikan fenomena kenaikan harga minyak, lalu mengajukan legislasi agar penarikan pajak baru dari keuntungan ekstra dapat dilakukan. Itu berarti tambahan pendapatan bagi negara karena pembayaran pajak baru meningkat.
Sebenarnya, legislasi yang mengincar pajak berbagai perusahaan minyak AS sudah dimulai sejak tahun 1980-an. Saat itu harga minyak juga meningkat akibat embargo negara-negara arab.
Usaha kebijakan peningkatan pajak seperti ini wajar dilakukan pemerintah dan parlemen. Namun, keuntungan ekstra karena kenaikan harga minyak yang pesat ini harus dimanfaatkan negara untuk meringankan beban rakyat.
Batu bara, CPO, dan lainnya
Selain pada BBM, fenomena peningkatan harga juga terjadi pada batu bara, gas, hasil tambang lain, dan lainnya. Minyak kelapa sawit adalah contoh produk yang mengalami peningkatan harga amat pesat di pasar internasional. Karena itu, perusahaan yang mengelola selain minyak juga mendapat keuntungan ekstra. Tentu saja pajak dari berbagai perusahaan itu meningkat pesat sejalan peningkatan harga jual produknya.
Pajak keuntungan ekstra ini juga berlaku untuk berbagai perusahaan yang mengelola hasil tambang seperti batu bara. Untuk perusahaan pengelola sumber daya alam yang sudah go public, itu tercermin pada perkembangan harga sahamnya, yang menunjukkan keuntungan amat besar. Jadi, pemerintah wajib mengelola peluang pajak ini secara cermat.
Pajak keuntungan ekstra juga bisa diberlakukan untuk komoditas pangan, yang juga mengalami peningkatan pesat. Komoditas itu antara lain minyak kelapa sawit. Berbagai perusahaan penghasil minyak kelapa sawit disiasati dengan pajak lain, yakni pajak ekspor yang tinggi. Kebijakan progresif seperti ini perlu dijalankan untuk menarik manfaat dari kenaikan harga produk di pasar internasional, selain untuk melindungi konsumen dalam negeri.
Didik J Rachbini Ekonom
Sumber: Kompas Cetak, cetak.kompas.com
There are no translations available
DIDIK J RACHBINI
Dampak kenaikan harga minyak pada Indonesia dan negara penghasil minyak lainnya amat berbeda. Perbedaan itu bersifat terbalik. Bagi negara penghasil minyak lainnya, kenaikan harga minyak berdampak positif, bahkan menimbulkan efek keuntungan ekstra besar. Sementara bagi Indonesia, kenaikan harga minyak berdampak negatif dan merisaukan masyarakat, khususnya golongan masyarakat bawah.
Bagi Indonesia, amat luas dampak kenaikan harga minyak, terutama pada harga-harga barang lainnya. Golongan masyarakat bawah terkena dampak paling berat, berpotensi menimbulkan kisruh sosial jika tidak diimbangi kebijakan, yang mendinginkan. Kebijakan subsidi langsung sedikit banyak meredam gejolak sosial, kecuali keresahan yang terbatas pada kalangan menengah mahasiswa.
Manfaatkan momentum krisis BBM
Meski berstatus produsen, Indonesia berbeda dengan negara OPEC lainnya. Negeri ini tidak menikmati keuntungan ekstra dari kenaikan harga minyak saat ini. Penyebabnya, tidak lain karena produksinya lebih kecil, tidak mencukupi dibandingkan tingkat konsumsinya. Selain itu, kebijakan energi juga salah kaprah. Dengan demikian, kenaikan harga minyak berdampak negatif terhadap masyarakat.
Meski demikian, peluang untuk mengurangi dampak negatif bisa ditekan. Pertama, kondisi krisis harus dijadikan kesempatan untuk melakukan efisiensi pada level korporasi, seperti Pertamina dan efisiensi energi pada tingkat rumah tangga masyarakat melalui kampanye luas. Krisis minyak selayaknya dijadikan momentum untuk memperbaiki kebijakan energi.
Kedua, usaha pemerintah memberantas perburuan rente ekonomi minyak dari hulu sampai hilir agar lebih efisien. Perburuan rente ekonomi tidak hanya di hulu, tetapi juga di hilir dan di luar, seperti kolusi mesin-mesin pembangkit listrik, yang menyebabkan ketergantungan pada minyak. Akhirnya konsumsi minyak dan peningkatan subsidi diperparah subsidi listrik, yang tidak efisien karena pembangkitan berbasis BBM.
Selain itu, kebijakan pajak keuntungan ekstra dapat diberlakukan kepada perusahaan minyak. Jelas harga produknya meningkat pesat karena faktor eksternal sehingga keuntungan ekstra kian banyak diperoleh. Peningkatan kinerja keuangan seperti ini otomatis akan berdampak pada pembayaran pajaknya.
Pajak ”keuntungan ekstra”
Pajak keuntungan ekstra (windfall profits tax) adalah pajak yang harus dikenakan pada industri atau kumpulan perusahaan akibat kenaikan harga produknya, yang menambah pendapatan dan keuntungan perusahaan. Kenaikan harga produk yang amat tinggi dan berlipat berimplikasi pada keuntungan. Contoh yang sudah dijalankan adalah pajak keuntungan ekstra atas minyak (crude oil winfall profit tax), yang perdebatan legislasinya sudah mulai sejak awal 1980-an di Amerika Serikat.
Semula, pajak keuntungan ekstra bukan dimaksudkan atau terkait langsung keuntungan, tetapi terkait pajak tambahan yang dikenakan pada tiap barrel produksi minyak domestik. Namun, dengan kenaikan harga minyak yang terjadi kini, pajak keuntungan ekstra menjadi pendapatan tambahan bagi negara.
Pajak tambahan dari keuntungan ekstra ini ditarik saat pertama kali produk minyak mentah itu dijual oleh produsen ke pengolah (refinery). Pengolah diwajibkan negara untuk menahan pajak yang dikenakan sebelum dibayarkan kepada produsen minyak mentah. Pajak keuntungan ekstra ini dijalankan pada waktu khusus seperti sekarang, saat harga minyak naik, guna menambah pendapatan negara.
Agar sistem pajak keuntungan ekstra ini kuat, diperlukan legislasi yang disusun bersama antara presiden dan DPR. Prinsipnya fleksibel karena kenaikan harga juga tidak akan berlangsung terus. Negara-negara yang melaksanakan pajak keuntungan ekstra ini memberlakukan hanya dalam waktu 3-4 tahun.
Sudah beberapa tahun terakhir ini negara maju yang memiliki sumber minyak dan perusahaan minyak, seperti di AS dan Rusia, melihat keuntungan ekstra berbagai perusahaan minyak amat besar saat harga minyak meningkat. Pada tahun 2005, keuntungan kolektif berbagai perusahaan minyak itu diperkirakan mencapai sekitar 100 miliar dollar AS.
Masyarakat dan parlemen memerhatikan fenomena kenaikan harga minyak, lalu mengajukan legislasi agar penarikan pajak baru dari keuntungan ekstra dapat dilakukan. Itu berarti tambahan pendapatan bagi negara karena pembayaran pajak baru meningkat.
Sebenarnya, legislasi yang mengincar pajak berbagai perusahaan minyak AS sudah dimulai sejak tahun 1980-an. Saat itu harga minyak juga meningkat akibat embargo negara-negara arab.
Usaha kebijakan peningkatan pajak seperti ini wajar dilakukan pemerintah dan parlemen. Namun, keuntungan ekstra karena kenaikan harga minyak yang pesat ini harus dimanfaatkan negara untuk meringankan beban rakyat.
Batu bara, CPO, dan lainnya
Selain pada BBM, fenomena peningkatan harga juga terjadi pada batu bara, gas, hasil tambang lain, dan lainnya. Minyak kelapa sawit adalah contoh produk yang mengalami peningkatan harga amat pesat di pasar internasional. Karena itu, perusahaan yang mengelola selain minyak juga mendapat keuntungan ekstra. Tentu saja pajak dari berbagai perusahaan itu meningkat pesat sejalan peningkatan harga jual produknya.
Pajak keuntungan ekstra ini juga berlaku untuk berbagai perusahaan yang mengelola hasil tambang seperti batu bara. Untuk perusahaan pengelola sumber daya alam yang sudah go public, itu tercermin pada perkembangan harga sahamnya, yang menunjukkan keuntungan amat besar. Jadi, pemerintah wajib mengelola peluang pajak ini secara cermat.
Pajak keuntungan ekstra juga bisa diberlakukan untuk komoditas pangan, yang juga mengalami peningkatan pesat. Komoditas itu antara lain minyak kelapa sawit. Berbagai perusahaan penghasil minyak kelapa sawit disiasati dengan pajak lain, yakni pajak ekspor yang tinggi. Kebijakan progresif seperti ini perlu dijalankan untuk menarik manfaat dari kenaikan harga produk di pasar internasional, selain untuk melindungi konsumen dalam negeri.
Didik J Rachbini Ekonom
Sumber: Kompas Cetak, cetak.kompas.com
Subscribe to:
Posts (Atom)